Menjadi Perempuan yang Berkarya Itu Pilihan

Spread the love

“Jangankan berkarya, tuntas dari urusan domestik saja itu sudah sebuah prestasi”

Hampir setahun ini saya memutuskan resign dari tempat kerja dan memilih mengurus rumah tangga saja. Saya sudah merasa mempersiapkan diri atau lebih tepatnya langsung terjun bebas. Ini cuma urusan kecil yang tentu mudah dijalani. Lha wong, bekerja dan jadi ibu rumah tangga tanpa asisten sudah sukses dijalani. Apalagi cuma jadi ibu rumah tangga. Tentu saja lebih mudah. Saya justru mengurangi separuh dari beban hidup yang selama ini dilakoni.

Berkarya nyatanya menjadi kata kerja yang tidak pernah ‘bekerja’ saat itu. Tidak pernah terbersit sekalian pun. Yah, ternyata memilih menjadi full time mommy tak seindah angan-angan. Menjadi ibu rumah tangga yang ‘sepenuhnya’ merupakan pekerjaan baru yang cukup mengoyak kewarasan saya. Urusan domestik berlangsung dari bangun sampai mau tidur lagi. Hingga suatu hari saya merasa “kok gini-gini aja sih hidup gue?”.Dan ada dua hal yang saya rasa membuat setahun ini menjadi perempuan yang tidak ‘berdaya’ untuk berkarya.

Insecure

Ketakutan dan kekhawatiran yang belum tentu kebenarannya memang menghantui. Perempuan, terutama yang terjadi pada saya sering terbelenggu dengan kata ‘jangan-jangan’. Kejadian saja belum, kok kita malah mendahului takdir. Jadi, sesekali membuat jeda untuk bersikap masa bodoh itu perlu dilakukan. Supaya kita tidak fokus dengan dunia di luar kita yang seolah-olah menjadi penghambat. Siapa nyana penghambat itu bukan orang lain tapi diri sendiri.

Dulu media sosial menjadi sohib saya di kala kesepian ketika tidak lagi beraktivitas dalam sebuah komunitas. Yang biasanya sibuk mengejar deadline, koordinasi sana sini, melobi orang, menyusun kegiatan, tiba-tiba lenyap. Tidak ada sosialisasi. Apalagi karya. Ditambah pandemi yang membuat khawatir untuk sekedar bertegur sapa. Akhirnya kondisi ini membuat saya memilih jejaring sosial. Saya bisa berselancar kemana-mana, melihat kegiatan si A, si B, ngepoin artis, mencari resep, sampai mempertanyakan kondisi anak.

Yah, begitulah. Scrooling feed lama-lama menjadi candu. Padahal saya tahu, isinya ya cuma itu-itu saja. Bukan kebahagian yang ditemukan. Justru jejaring ini membuat tambah insecure pada diri sendiri. Melihat rumah orang lain kece badai, lah rumah saya mah kena angin topan tiap hari. Masakan kok kepentok di telur dadar, telur ceplok, omelet, warteg jadi andalan. Belum lagi melihat usaha teman yang kian menanjak. “Boro-boro gue usaha, sist! Bayi nangis mulu aja udah pening.” Apalagi melihat para beauty ‘belender’, duh mbak mana sempat bikin alis. Yang kata orang melihat kesuksesan orang lain bisa menjadi pecut, saya justru jadi minder.

Perasaan dikit-dikit takut, dikit-dikit khawatir, tidak percaya diri, berada di posisi yang tidak aman sangat mengganggu kesehatan mental kita lho sebenarnya. Bukannya makin kuat, justru makin lemah. Belajar memberi afirmasi positif pada diri sendiri merupakan bagian penting selain bersikap ‘bodo amat’.

Suami akhirnya menyarankan untuk ikut kelas menulis ketika melihat istrinya getol mereview produk.” Ah, apaan sih?” itu respon pertama saya. Saya menulis untuk iseng dan asyik saja sebenarnya. Tidak pernah terbayang menjadi expert. dan berguru pada esais. Itu mah jauh dari pikiran. Saya mah apa atuh. Insecure lagi, padahal dapat support!

Tapi suami menyakinkan dan akhirnya pelan-pelan saya mengubah pola pikir. Oke, ini saatnya belajar bukan untuk baper atau minder. Berangkat dari situ satu tulisan saya dipublish secara komersil. Bayangkan waktu itu jika tetap keukeuh untuk membiarkan kekhawatiran membayangi hidup saya?

Salah mengartikan ‘me time’

Sebenarnya, apa sih me time?

Tentu semua orang  punya pandangan yang berbeda tentang waktu untuk diri sendiri. Ketika saya masih bekerja, sudah barang tentu rebahan menjadi tolak ukur untuk menyenangkan diri sendiri. Eh, ternyata perilaku ini masih terbawa hingga pekerjaan saya murni menjadi ibu rumah tangga.

Namun, sekarang hal itu berbeda. Ketika kita rebahan dan bersantai itu lebih kepada beristirahat dari rasa lelah. Jadi, menurut saya kegiatan ini belum tentu membahagiakan. Tapi mengurangi rasa capek sudah pasti. Pada hakikatnya me time memang tak melulu rebahan. Yang penting menggembirakan dan bisa merilis stres.

Baru-baru ini saya menemukan hobi yang akhirnya menjadi kegiatan yang saya lakukan ketika me time. Saya menulis untuk menuangkan uneg-uneg. Dan hasilnya saya merasa lebih bahagia. Penemuan hobi yang cocok ini cukup lama dan tidak disengaja sebenarnya. Yah, saya tidak memungkiri bahwa titik balik ini juga berawal dari hobi rebahan dan scrooling feed orang lain.

Suatu hari, saya berbincang dengan teman lama yang lebih dulu menikah dan memutuskan menjadi IRT. Di samping itu beliau juga mempunyai usaha sampingan yang sukses. Setelah chit chat sana sani, rekan saya itu membuka usaha sampingan karena menekuni hobi. Usaha tersebut merupakan bentuk me time-nya dari urusan domestik.

Jadi, menentukan bentuk me time yang paling tepat itu penting untuk ibu rumah tangga. Dan yang saya yakini sekarang, rebahan sambil ngepoin stories itu cuma hiburan di kala lelah. Eh, lha kok ujung-ujungnya malah menelantarkan jobdesk utama sebagai ibu. Kemudian kita jadi menggerutu karena tugas belum selesai. Yang sebenarnya itu karena keteledoran kita yang kelamaan ‘menyenangkan’ diri sendiri.

Kalau kita menikmati dan menemukan bentuk me time yang tepat ini sudah barang tentu bisa menghasilkan. Menghasilkan komentar itu minimal. Dan tak menutup kemungkinan cuan mendekat. Caranya, sering-sering posting biar orang lain yang lagi rebahan ngepoin karya dari hasil me time kita. Hihi.

Sejak memutuskan jelajah media sosial harus menjadi bermanfaat dan bercuan hidup ini terasa lebih berdaya. Walaupun tulisan pertama saya tak muluk mengenai pemikiran yang njlimet. Tapi bersinggungan dengan kehidupan saya sebagai ibu rumah tangga. Saat itu saya mereview susu UHT. Dari situ saya berhasil mendapat straw cup yang harganya lumayan. Yeay, reward perdana! Beranjak dari situ akhirnya satu minggu bisa menghasilkan satu tulisan. Dan terus bertambah tiap minggu. Semua berasal dari me time saya.

Boleh dikatakan saya telat menyadari pentingnya berkarya bagi perempuan. Saya meyakini dan menjalankan gagasan ini justru di awal usia tiga puluh tahun. Bahkan kesadaran itu dimulai tanpa disadari.Tapi, bukankah tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah kebaikan? Ya, perempuan harus harus berdaya. Berdaya dengan berkarya.

Berkarya bukan tentang ketenaran. Bukan semata tentang materi duniawi. Bukan tentang kemewahan. Bukan pula tentang perlombaan. Tapi sungguh berkarya tentang kebermanfaatan bagi sesama. Dan siapa pun berhak untuk bermanfaat.

Bagi perempuan, tanpa disadari, diri sendiri justru seringkali menjadi penghambat. Banyak kekhawatiran yang muncul tanpa sebab. Banyak keraguan yang datang tanpa awalan. Perempuan itu memang ribet berpikir. Jadi, mari kita berdamai dengan diri sendiri karena menjadi bermanfaat dengan sebuah karya itu pilihan