Menyapih dengan Cinta, Proses Menyiapkan Mental Ibu dan Anak
Perlukah ibu menyiapkan mental ketika menyapih anak? Iya, perlu! Itu jawaban tanpa tapi, yang akan saya berikan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Menyapih bagi saya tak sebatas melepas anak dari gentong susu. Menyapih merupakan salah satu proses mengantarkan anak menuju tahap kehidupan yang baru. Dari yang setiap detik bisa gelendotan dan mencari ketenangan di ketiak ibunya, anak harus mulai bisa menemukan peraduan yang lain.
Proses menyapih ini menjadi cukup sulit bagi anak dan ibu sebagai orang tua. Sejak jantung berdetak dan tangis pertamanya pecah, ASI dan ibu merupakan sumber ketenangan bagi anak. Ibu dan ASI, bagian yang tak terpisahkan untuk anak.
Seorang bayi yang ndhusel-ndhusel mencari ketenangan juga merupakan kebahagiaan tak terdefinisikan bagi ibu. Kebahagiaan bisa memberi kehidupan untuk seorang bayi yang baru lahir pun merupakan anugerah yang luar biasa. Oleh karena itu, perlu sekali proses menyiapkan mental ibu dan anak dalam proses penyapihan.
Proses Pra Menyapih
Menyapih butuh waktu untuk menyiapkan mental ibu dan anak. Maka proses ini tidak akan berhasil dalam waktu sehari dua hari. Kecuali jika Buk-Ibuk memilih jalan ninja dengan cara oles-oles atau suwuk. Saya sendiri menyiapkan proses menyapih ini sejak 6 bulan sebelum dua tahun usia Adek.
Bedasarkan pengalaman saya menyapih Teteh, proses pra menyapih ini menentukan keberhasilan di hari H waktu penyapihan. Saya menerapkan teknik sounding dan briefing selama hampir 6 bulan sebelum menyapih. Awalnya saya pikir sounding saja cukup. Tapi, boleh lah kita uji coba dengan menambah teknik briefing biar lebih mantap.
# Sounding
Hampir setiap hari saya memberitahu Adek bahwa ketika usianya dua tahun harus berhenti nenen. Dengan alasan bahwa Adek sudah cukup minum ASI selama dua tahun. Berarti Adek sudah besar, dan sekarang kalau haus atau lapar Adek harus minum atau makan.
Kurang lebih begitulah wejangan saya ketika sounding ke Adek. Ketika saya bilang seperti itu, para kompor ikut menyala (baca Bapak dan Tetehnya). Ya, merekalah si support system yang berperan penting dalam proses pra menyapih.
Momen pra menyapih ini selain menguatkan anak juga membantu saya menyiapkan mental menghadapi hari H. Artinya, saya ikut tersugesti ketika sounding ke Adek. Jadi, Adek sebagi subjek yang akan distop ngASI dan saya sama-sama belajar menyiapkan diri. Mudah-mudahan nggak shock terlalu lama ketika hari H.
# Briefing
Pertama kali menemukan teknik briefing sebagai salah satu cara pencegahan ‘masalah’ dalam parenting di buku Enlightening Parenting. Bagi saya, teknik ini manjur sebagai tindakan preventif untuk menghindari tantrum. Kalau mau praktik, bisa juga untuk berbagai kegiatan harian anak.
Seperti layaknya briefing kerjaan, tujuannya untuk memberikan gambaran kegiatan yang akan dijalani. Setidaknya kita akan sama-sama paham, setelah kegiatan ini selanjutnya apa, jika tidak begini bisa begitu. Jadi, di tahap briefing diharapkan gambaran anak tentang penyapihan makin ngena.
Contoh briefing pra penyapihan yang saya lakukan sebagai berikut :
Saya : “Dek, nanti kalau sudah 2 tahun gimana sama nenen?”
Adek : “Bye bye nenen!”
Saya : “Kalau Adek haus gimana?”
Adek : “Minum air putih.”
Selama enam bulan ke belakang, Adek dan saya sudah terbiasa dengan kata ‘sapih’ dan ‘berhenti nenen’. Kami sudah cukup familiar dengan proses menyapih yang nanti akan dijalani berdua. Secara mental, seharusnya kami sudah jauh lebih siap.
Hari H Menyapih
Apakah proses menyapih akan berjalan mulus setelah proses menyiapkan mental ibu dan anak? Ya, tentu saja tidak Ferguso! Kita boleh punya ekspektasi yang tinggi setelah semua tindakan pra penyapihan. Namun, keberhasilan proses menyapih tak semudah yang kita bayangkan.
Ada beberapa poin yang mendukung proses penyapihan selain kesiapan mental ibu dan anak.
#1 Support system
Support system menjadi bagian yang penting dalam proses penyapihan. Karena merekalah yang hadir dan secara sadar membantu keberhasilan proses penyapihan. Yang perlu digarisbawahi, support system tak melulu selalu keluarga dekat, ya!
Kenapa saya berani memberi pernyataan seperti itu? Karena waktu menyapih Teteh, bapaknya dan saya sedang LDM. Tapi, alhamdulillah sukses tepat di usianya yang ke-2. Tahu nggak berkat support siapa? Ibu-ibu pengasuh Teteh di penitipan. Hihihi.
Ketika kedua belah pihak siap (dalam hal ini ibu dan anak), maka proses penyapihan tidak akan berjalan rumit, kok! Apalagi, jika kita sudah menyiapkan mental ibu dan anak jauh-jauh hari. Saya bisa memberi garansi kalau penyapihan bisa lancar kurang dari seminggu.
Sedangkan proses penyapihan Adek kali ini berjalan lancar dengan support penuh dari Bapak dan Tetehnya. Si duo kompor yang bisa mengalihkan keinginan nenen Adek dengan mengajak maen, jalan-jalan, baca buku dan nonton.
Berhubung penyapihan Adek jatuh di hari Sabtu, pas jatah nonton weekend nih! Tetehnya bilang begini, “Daripada nenen, mending kita nonton Dek!”. Emang paling bisa nih, Teteh. Hahaha.
#2 Kondisi emosi anak
Plis, cek ricek lagi kondisi emosi anak ketika memutuskan menyapih! Ya, soalnya menyapih itu juga melibatkan dan mempertaruhkan emosi. Jadi, kita memang harus menemukan best moment ketika emosi anak cukup stabil.
Terus terang, proses penyapihan Adek tidak dilakukan tepat di umurnya yang kedua. Lewat 4 atau 5 hari lah kalau tidak salah. Penyebabnya karena dua minggu ke belakang emosi Adek sedang ‘jelek’. Tiap malam bisa tantrum sampai dini hari. Siang pun kadang cukup bikin pusing. Wkwkwk.
Dari situ saya pasrah tentang proses penyapihan Adek. Karena kalau dipaksakan justru membuat proses penyapihan menjadi menyakitkan. Kebayang akan banyak tangis dan teriakan. Proses menyiapkan mental ibu dan anak selama 6 bulan malah akan menjadi ‘nggak guna’.
Bersyukur, tak lama kondisi emosi Adek mulai membaik. Tidak menunggu waktu lagi, saya langsung cus menyapih. Dan sampai hari ketiga ini, sukses! Nangis kehilangan ada, tapi tidak terlalu dramatis. Paling beberapa kali aja si Adek bilang, “Tapi, Adek mau nenen Mama lagi!” Hihihi. Masih wajarlah ya.
#3 Kondisi fisik ibu dan anak
Selain proses menyiapkan mental ibu dan anak, kondisi fisik kedua belah pihak perlu pake banget diperhatikan. Pastikan ibu dalam keadaan sehat dan bugar. Begitu juga dengan kondisi anak. Biar persiapan yang panjang di awal tidak terlihat sia-sia.
Seminggu sebelum menyapih Adek, saya migrain hebat selama hampir seminggu. Lemes tak terhingga pokoknya. Pemulihan yang biasanya sehari-dua hari cukup, kali ini tidak. Setelah saya sehat, gantian Teteh dan Adek yang demam bersamaan.
Dua hari Adek dan Teteh demam, Bapaknya ikut ambruk gegara ngurusin urusan domestik dan kerjaan kantor. Kebayang dong, gimana saya terseok-seok mengurus ba bi bu. Ya, intinya secara fisik memang saya tidak cukup bugar untuk menyapih Adek tepat di usianya yang kedua. Yaaa, syudahlah. Saya tidak mau memaksakan diri sendiri.
Selain saya yang belum siap, Adek juga sedang menjalani masa pemulihan dari demam dua harinya. Sumeng-sumeng masih terasa dan dia menjadi agak rewel karena kondisi tubuh yang kurang nyaman. Jadi, fix menunggu saya dan Adek sehat dulu.
#4 Berikan alternatif pengganti ASI
Alternatif pengganti ASI perlu sama-sama dicari dan disepakati bersama antara ibu dan anak. Karena ASI selain memberikan kenyamanan juga pemberi rasa kenyang ketika anak tiba-tiba lapar. Anak akan merasa kehilangan jika tidak diberikan pengganti.
Kalau saya memilih menentukan alternatif ASI dan sounding ke Adek supaya dia tidak kaget ketika tiba hari H penyapihan. Akternatif pengganti ASI tidak harus produk susu ya, Buk-Ibuk. Tapi, bisa diganti dengan minum air putih atau cemilan berat, bisa juga menambah jumlah porsi makan. Intinya sesuatu yang bisa membuat anak kenyang tanpa ngASI.
Setelah semua poin terpenuhi, proses menyapih bisa kita jalankan. Karena sudah melewati proses panjang menyiapkan mental ibu dan anak selama 6 bulan, saya jadi minim mellow. Ya, sedih ada sih tapi masih dalam batas kewajaran. Namanya juga ibuk-ibuk yang sedikit sedikit mewek, kan ya! Hahaha.
Kalau saya, biasanya suka nggak tega melihat Adek nangis pengen nenen. Tiba-tiba pengen aja nyodorin. Apalagi kalau PD lagi penuh, beuh kan enak banget ya kalo dikosongin sama anak. Tapi, kita harus bisa ngerem dan bilang STOP ke diri sendiri.
Ingat ya, Buk! Keberhasilan proses penyapihan ini sedikit banyak bergantung pada kesiapan ibu dan anak. Anak bisa siap kalau ibu lebih dulu siap, karena ibu yang bisa mengkondisikan anak. Tidak perlu trik oles-oles PD atau suwuk menyuwuk ketika menyapih. Biarkan penyapihan ini berjalan alami dan nikmati prosesnya.
Selamat menyapih!