5 Tips Mendampingi Anak Belajar Membaca al-Qur’an
Apa saja yang diperlukan ketika mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an? Banyak. Karena modal lancar dan fasih membaca saja tidak cukup. Meskipun hal itu merupakan modal dasar yang harus kita kuasai ketika meniatkan diri mengajari anak membaca al-Qur’an secara mandiri.
Saya dan suami mulai mengajari Teteh, anak pertama kami di usia 3,5 tahunan. Sekarang Teteh berusia 5,5 tahun. Hampir 2 tahun kami sama-sama belajar menjadi guru baca al-Qur’an dan saat ini Teteh sampai di pertengahan Iqro’ 4.
Saya, sebagai yang akhirnya menghandle penuh Teteh belajar membaca al-Qur’an menganggap ini sebuah pencapaian. Meskipun mungkin ada banyak orang tua yang berhasil mengkhatamkan Iqro’ sebagai panduan pra membaca Al-Qur’an dalam waktu setahun bahkan kurang. Yakinlah bahwa kita punya struggle yang berbeda. Dan lika-liku proses belajar anak membuat kita selalu bertumbuh.
Setelah hampir 2 tahun mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an, saya menemukan beberapa poin yang mungkin bisa menjadi tips bagi orang tua yang sedang mendampingi putra-putrinya. Perjalanan 2 tahun yang ternyata panjang itu membawa hikmah. Bener ya, ternyata semua itu ada hikmahnya. Wkwkwk.
Cek yuk beberapa tips supaya aktivitas belajar membaca Al-Qur’an menjadi proses yang membahagiakan untuk anak dan orang tua!
- Turunkan ekspektasi kita sebagai orang tua
Menurunkan ekspektasi merupakan kunci utama ketika mendampingi anak belajar membaca al-Quran. Yakinlah bahwa anak belum punya pengalaman apa pun tentang bahasa Arab. Pengetahuan mereka tentang bahasa Arab sama sekali belum ada. Jadi, anggaplah wajar jika ketika di perjalanan belajar membaca al-Qur’an banyak kesalahan yang dilakukan anak.
Mungkin suatu waktu anak kesulitan mengucapkan satu huruf. Atau beberapa kali kesulitan membedakan huruf satu dengan yang lainnya. Itu hal yang wajar, Buk-Ibuk. Di situlah pentingnya kita menurunkan ekspektasi, supaya kita tidak overthinking.
Bukan hal yang memalukan jika anak sering mengulang bacaan yang sama dalam beberapa kali sesi belajar membaca al-Qur’an. Ingatlah bahwa pengulangan akan menguatkan daya ingat. Sehingga kemampuan anak justru akan meningkat dengan mengulang.
Terus terang, sebelumnya saya sering naik pitam juga. “Kenapa sih baca begitu aja susah amat!” Dari suara lembut sampai menggelegar, akhirnya keluar juga ketika mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an. Teteh yang dalam hal ini adalah murid bukannya tambah cepat belajar, justru makin mengkerut. Di awal-awal kami mulai belajar, tak jarang proses ini berakhir dengan Teteh menangis. Deuh, maafin ya Teh!
Apalagi ketika bapaknya yang mendampingi anak belajar membaca al-Quran. Uwooo sekali, dah! Kayaknya sih, ini berkaitan dengan cara kami mendapatkan pelajaran tentang membaca al-Qur’an. Si Bapak dari kecil setiap hari diniyah, pagi sore kerjaannya ngaji. Sekolah dasar udah fasih doi baca al-Quran. So, pantes saja kalau blio punya ekspektasi yang cukup tinggi dengan kemampuan anaknya.
Ini berkebalikan dengan saya, yang kayaknya baru pas SD mulai ikut TPA. Dibawa asyik aja sih. Kalau lagi males yaaa, nggak berangkat. Meskipun progresnya lama, tapi saya masih merasa ‘seneng aja gitu’ belajar membaca al-Qur’an.
Pengalaman ‘telat’ saya belajar membaca al-Quran, TIDAK boleh diulang. Tapi, proses yang saya anggap kurang ‘membahagiakan’ yang dialami bapaknya harus diputus. Perjalanan anak-anak untuk mengenal al-Quran harus dengan bahagia.
Menurunkan ekspektasi menjadi koentji untuk mendapatkan proses yang menyenangkan. Menyenangkan bagi anak sebagai murid dan tentu saja saya sebagai guru.
2. Tentukan jadwal tetap membaca
Kita tahu bahwa kelas-kelas belajar membaca al-Qur’an mempunyai waktu yang jelas dan teratur. Jadwal tetap memberikan kejelasan waktu bagi anak. Hal ini tidak boleh diabaikan ketika ingin mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an di rumah. Karena membantu anak melatih bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Selain itu, kegiatan pra pendampingan membaca al-Qur’an menjadi lebih mudah. Ketika anak sudah terbiasa dengan jadwal rutin, kita sebagai orang tua tidak perlu berkoar-koar sebelumnya. Kebiasaan kita untuk nguprak-uprak kadang memicu emosi negatif, lho! Kalian juga bisa baca tentang emosi menghadapi anak tantrum di sini ya!
Kita jadi bad mood karena merasa harus selalu mengingatkan anak. Anak juga menjadi kesal mendengarkan orang tua yang ‘marah-marah’ versi mereka. Kalau melihat pengalaman saya dan Teteh yang lalu-lalu nih, kegiatan belajar membaca al-Quran jadi tidak menyenangkan. Karena didukung emosi negatif di awal kegiatan.
Kalau saya sekarang punya kesepakatan dengan Teteh bahwa belajar membaca al-Qur’an dilakukan setelah sholat Subuh. Ini kesepakatan baru, sih. Dan dia yang minta, ya sudah saya setuju. Sekalian Teteh bisa bangun pagi, sholat Subuh dan mandi, kemudian siap-siap ke sekolah.
Awalnya saya mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an di malam hari, ba’da Magrib. Tapi, ternyata tidak efektif. Saya dan suami sudah capek kerja, ditambah ada Adek yang baru lahir. Akhirnya kami sempat rehat belajar membaca al-Qur’an cukup lama.
Sejak masuk sekolah, jadwal berubah lagi di pukul 09.00 menyesuaikan materi belajar online. Tapi, makin ke sini malah tabrakan dengan jadwal masuk sekolah. Eh, Teteh inisiatif sendiri mengganti jadwal. It’s okay! Yang penting atas kesepakatan bersama. Sekali lagi supaya proses mendampingi anak membaca al-Qur’an berjalan dengan menyenangkan.
3. Buat kesepakatan di awal kegiatan
Dulu waktu masih ngajar, saya dapat wejangan bahwa “kesepakatan belajar itu harus dibuat di awal”. Alasan simpelnya supaya siswa paham do dan don’t serta punishment yang akan mereka peroleh jika melakukan kesalahan. Guru jadi tidak seenak perutnya memberi hukuman karena kesepakatan sudah ada di awal.
Kesepakatan belajar perlu juga lho dilakukan ketika mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an. Supaya anak nanti tidak kaget ketika tiba-tiba ibunya berteriak di tengah pelajaran. Oh, tadi kan sudah ada kesepakatan ibu akan berteriak jika A.
Selain itu, kesepakatan di awal juga meminimalir distraksi anak. Misal, Teteh suka main pensil ketika membaca. Kita bisa buat kesepakatan jika pensil dipegang guru (saya) ketika membaca. Kalau Teteh mau menunjuk kata, boleh menggunakan jari.
Jika anak masih bingung atau sering melanggar kesepakatan dan orang tua ‘capek’ mengingatkan, kesepakatan boleh divisualisasi dalam bentuk gambar. Anak akan lebih cepat paham dan bisa segera mengubah sikap.
4. Tentukan porsi bacaan yang akan dipelajari di setiap sesi belajar
Di awal saya sudah mengatakan bahwa bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam penulisan al-Qur’an itu tidak mudah. Entah karena bentuk atau kaidah bacaannya yang berbeda dengan keseharian anak. Bisa juga karena anak memang belum punya pengalaman dengan bahasa Arab.
Belum lama ini saya hentikan kebiasaan menuntut anak untuk menyelesaikan satu lembar penuh bacaan setiap kali belajar membaca al-Qur’an. Saya mulai sadar jika semakin naik tingkat, Teteh mulai terengah-engah memahami kaidah yang cepat berubah. Rasanya kok tidak adil juga memaksakan kehendak.
Ketika terengah-engah, Teteh jadi malas-malasan. Dalam satu minggu bisa dihitung berapa kali dia mau belajar dengan suka rela. Ada saja alasannya untuk menghindari jadwal membaca al-Qur’an. “Nanti sore aja, Ma.” Giliran sudah sore, Maknya lupa! Wassalam sampai malam dia sudah ngantuk. Atau biasanya dia beralibi setelah main. Habis main dia kecapekan, masuk jam lunch, tidur dan ya nggak ngaji jadinya.
Sekarang kami punya kesepakatan baru mengenai porsi. Teteh hanya membaca setengah halaman saja setiap kali membaca Iqro’. Kalau dia merasa sangat kesulitan, ya cuma 2 atau 3 baris paling banyak. Bagi saya yang penting dia paham dengan apa yang dia baca. Tidak perlu CEPAT, karena ini bukan lomba. Lagi pula anak orang lain bukan musuhnya, tapi keinginan orang tuanya yang ingin menjadikannya perbandingan.
Menentukan porsi bacaan memberikan keleluasaan anak untuk melatih pemahaman. Otak anak tidak dipaksa memikirkan sesuatu secara berlebihan. Btw, porsi bacaan pada setiap anak bisa berbeda-beda tergantung banyak faktor. Setengah halaman disini cocok versi kemampuan Teteh. Dan akhirnya saya pun menjadi jarang mengeluarkan emosi negatif ketika mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an.
5. Pilih metode yang paling tepat versi anak dan orang tua
Kita tahu, banyak metode belajar membaca al-Qur’an. Pastikan orang tua memilih metode sesuai kemampuannya. Kalau ada metode baru yang katanya bagus, tapi kita tidak punya kemampuan ya sebaiknya dihindari. Kecuali kita mau belajar secara khusus pada ahlinya tentang tata cara metode tersebut.
Saya sendiri memilih menggunakan buku Iqro’ sebagai bahan ajar. Alasannya saya belajar membaca al-Qur’an menggunakan buku Iqro’. Ustadz/ustadzah saya pun begitu, jadi menurut hemat saya sanadnya sudah jelas. Tapi dalam perjalanan mendampingi anak membaca al-Qur’an saya menemukan cara yang berbeda dengan buku petunjuk. Dan ternyata cara itu lebih menyenangkan untuk saya dan Teteh. It’s okay, sih.
Awalnya saya ingin menggunakan metode Qiro’ati karena pernah menggunakannya waktu ngajar. Eh, jebul saya lupa gimana caranya. Bisa aja sih beli bukunya. Tapi, saya belum menemukan tempat belajar Qiro’ati untuk mentor. Dasarnya saya malas belajar lagi juga, sih! Hahaha. Ya udah, pakai Iqro’ saja, deh!
Metode yang tepat memiliki andil penting dalam mendampingi anak belajar membaca al-Qur’an, lho! Metode yang tepat akan membuat proses pendampingan menjadi tidak rumit. Ketika orang tua paham dengan apa yang dia berikan, maka berbanding lurus pula dengan penerimaan anak.
Wah, ternyata tulisan tipsnya menjadi panjaaang. Semoga Buk-Ibuk khatam bacanya, ya!
Kadang kita menyerah di tengah jalan ketika mendampingi anak belajar membaca al-Quran. Tapi, ingatlah bahwa amalan ini akan digunakan anak sepanjang hayat. Tabungan amalan kita yang tidak akan pernah terputus kalau kita berhasil melewati jalan yang terjal, kan! 😊