Tantrum pada Anak 5 Tahun dan Cara Menyikapinya

Spread the love

“Tantrum, akan menjadi bagian dari kenangan orang tua ketika membesarkan anak. Segala macam tindakan tentang tantrum akan membekas di alam bawah sadar. Memilih tindakan yang terbaik menjadi langkah untuk memberi kenangan baik untuk anak”

Tulisan kali ini diprakarsai oleh tantrumnya Teteh kemarin sore.

Sebagai orang tua yang ingin terus bertumbuh, saya mencoba mengganggap tantrum sebagai hal yang lumrah dialami anak-anak. Tugas kita menjadi pendamping dan fasilitator mencurahkan emosi. Bahasa kerennya mah, validasi yeee!

Perkara tantrum ini memang mau tidak mau harus kita hadapi. Plis, klik disini untuk cerita tantrum lain. Ya emang, sesuatu yang cukup menguras emosi menghadapi anak tantrum. Ketika bisa duduk tenang pas anak tantrum itu sebuah prestasi.

Waktu anak-anak masih balita, emosi kita dipertaruhkan karena nak-anak pada dasarnya masih menerka-nerka perasaan apa yang sedang dirasakannya. Ditambah kemampuan verbal yang belum cukup jelas untuk mengutarakan keinginan. Itu tuh bikin gemeezzz. Hahaha.

Beda lagi dengan tantrumnya anak 5 tahun. Mereka sudah cukup paham dengan perasaan kesal, marah, senang, sedih. Seharusnya nggak ada lagi tuh tantrum-tantrum. Kalau kejadian seperti Teteh ini cenderung ke sikap manipulatif.

Kenapa saya sebut sikap manipulatif soalnya ini tuh sebenarnya trik Teteh untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan, di usia 5 tahunnya ini sudah tidak pernah tantrum. Kalau seusia Teteh masih sering tantrum, bisa jadi ada ‘sesuatu’. Plis, konsul ke ahli yak!

Walaupun begitu, bagi saya tantrumnya anak 5 tahun sama-sama bikin gemeez jugak. Hahaha. Mereka sudah punya kemampuan lebih untuk menunjukkan sikap ketika tantrum. Jadi, mereka seperti keluar dari norma yang sudah kita ajarkan.

Dan, hal itu terjadi pada Teteh kemarin sore. Yang pernah ketemu Teteh pasti kaget kalo denger dia bisa teriak-teriak dan nangis kenceng pas tantrum. Saya jugak kemarin agak shock. Hahaha.

Awal mulanya, Adek minta digambarin kelinci di kertas yang saya beri. Teteh mau digambarin juga. Dia milih kertas yang kosong punya Adeknya dengan maen nyelonong aja. Waktu saya mau larang ( belum selesai kalimat larangannya) Teteh maen pergi sambil noyor kepala Adeknya. 🙈 Refleks saya bilang “Astaghfirullah!”.

Mendengar ucapan saya, Teteh yang memang sudah memendam perasaan kezeel, menangislah. Masuk kamar, tutup pintu dan teriak-teriak. Ini tantrum yang warbiyak dibandingkan yang lalu lalu.

Pada dasarnya emang fase tantrum  Teteh di usia 5 tahun ini sudah mau menghilang. Seingat saya ini tantrum pertama di usianya yang ke-5.  Semoga menjadi yang terakhir, sih!

Si Adek yang cukup drama ini, otomatis nangis juga karena merasa menjadi korban. Sore itu, rumah kami meriah oleh suara tangis. Ini yang dinamakan “drama queen” dunia kakak adek. Haiish.

Saya lupa baca dimana, intinya bila menghadapi anak tantrum maka orang tua perlu menenangkan diri. Emang info-info parenting tersebut amat bijak memberi nasehat. Sungguh adem bacanya. Tapi, monmaap kenyataan tak seindah bayangan yeee.

Untuk bersikap tenang, stay calm, stay cool itu butuh latihan. Nggak sekali kejadian terus bisa manis kek sales itu yaaa. Tenang menghadapi tantrum merupakan sebuah PRESTASI. Saya benar-benar butuh waktu yang tidak sebentar untuk sampai di titik calm. Dan, tidak pada semua situasi sikap tenang bisa muncul.

Bersikap tenang ketika anak tantrum

Kayaknya kok ada saja stimulus yang bikin saya geregetan. “Kenapa sih mesti nangis-nangis gitu? Ya Allah, udahaaan lah nangisnya!” Terus jadinya tindakan selanjutnya yang saya kok kalau dipikir lagi ‘nggak bener’ jadinya. Meskipun setelah tindakan ‘nggak bener’ tersebut saya segera minta maaf.

Biasanya saya kesel atau ngomel-ngomel kalo anak-anak tantrum itu ketika lagi capek atau ngantuk. Atau pas kerjaan lagi banyak. Tiba-tiba anak-anak doing something yang salah menurut saya. Refleks saya ngomel dan berujung nak-anak tantrum. Eh, kok ternyata saya termasuk pemicu tantrum ya!

Kemarin sore itu, saya juga sudah mulai kepancing. Sambil duduk melihat Teteh yang teriak-teriak itu, saya geregetan. “Ni bocah ngapa sih teriak-teriak nggak jelas!”, begitu kata saya dalam hati. Untungnya saya bisa keep calm lagi.

Waktu melihat saya duduk diam, Teteh juga kayaknya mulai geregetan pengin mukul sih! Tapi, alhamdulillah rasa geregetannya dilampiaskan dengan teriak-teriak yang makin kenceng saja. Kemudian, dia mendatangi bapak dan adeknya yang sedang main gitar di depan pintu.

Saya lanjut ke dapur motong semangka supaya ada kerjaan dan keep calmnya tetap terjaga. Teteh masih esmosi dan teriak-teriak di depan bapaknya. Waktu melihat saya motong semangka tantrumnya langsung mereda.

Dia pergi mengambil air minum, kemudian minum lalu menghapus air matanya. Lanjut bilang, “Mau semangka”. Sambil menahan isak tangis yang tersisa dia beberapa kali bilang mau semangka. Saya pura-pura nggak denger dan mastiin ucapan Teteh dengan bertanya. “Teteh mau semangka? Cuci muka dulu yuk!”

Setelah itu, ya sudah dia makan semangka dan tantrumnya juga selesai. Paling dia kesel aja sama bapaknya karena merasa digodain. Tapi tantrum teriak-teriak tadi sudah nggak ada.

Saat itu saya merenung sih! Oh…jadi Teteh sudah selesai merilis perasaan kesel dan marahnya nih! Cepet lho ternyata tantrumnya tuh, paling 15 menit selesai. Tapi sungguh bisingnya warbiyasak dan kek kena mental saya dengernya.

Sore itu tantrum Teteh terlewati dengan aman. Tentu harapannya jika kami berada pada situasi yang sama lagi tetep bisa keep calm dan stay cool. Mudah-mudahan stimulus yang memicu kemurkaan itu hempas.

Tau nggak sih, kalau kita as a parent ikutan naik pitam tuh malah akan memperlama waktu tantrum. Capeknya jadi berkali lipat. Memang susaah sih! Jurus paling ampuh tuh inhale exhale sambil istighfar. Wkwkwk.

Lanjut, waktu mandiin Teteh saya konfirmasi sambal bercanda tentang teriak-teriaknya. “Teh, kenapa sih tadi teriak-teriak? Berisik tau!”

“Tadi Teteh kesel sama Mama dan Adek. Teteh mau kertas yang nggak ada gambarnya buat gambar. Tapi, Mama nggak bolehin,” begitu cerita Teteh tentang sebab musabab tantrumnya.

Lalu, lanjutnya wejangan ba-bi-bu-be-bo saya. Malamnya kembali saya ingatkan tentang tindakan yang bisa kita lakukan jika merasa sangat marah. Apa yang boleh dilakukan dan tidak ketika sedang kesal.

Begitulah, cerita tentang tantrumnya si anak lima tahun ini.

Tantrum, akan menjadi bagian dari kenangan orang tua ketika membesarkan anak. Segala macam tindakan tentang tantrum akan membekas di alam bawah sadar. Memilih tindakan yang terbaik menjadi langkah untuk memberi kenangan baik untuk anak.

Luv,

Nurul