Tips Agar Ibu Tetap Berdaya Setelah Resign Kerja
Resign kerja, pandemi, pindah rumah, dan sedang menjalani pemulihan pasca sakit. Lengkap sudah rasanya. Berasa dunia ujungnya ‘cuma’ di rumah. Nggak ada teman, kesepian, boring dan insecure adalah perasaan yang saya alami di pertengahan tahun 2020.
Meskipun hidup adalah pilihan. Dan saya yang dengan bersukarela menentukan pilihan, tapi rasanya saya juga tetap berhak menyelami perasaan kehilangan rutinitas. Rutinitas yang membuat saya merasa berdaya menjadi individu. Merasa berdaya sebagai perempuan.
Pada enam bulan pertama masa penyesuaian diri menjadi ibu rumah tangga yang 100% di rumah, saya luntang-lantung di media sosial selama berjam-jam setiap hari. Scrolling hal-hal yang sebenarnya nggak penting-penting amat untuk saya ketahui. Tapi, tetep aja jadi bahan pengulangan setiap hari.
Sampai pada suatu hari saya tertarik untuk mengikuti kegiatan review produk anak dengan reward barang anak. Saking getolnya saya ikut, hampir tiap waktu senggang saya gunakan untuk membuat artikel seputar ibu dan balita. Dan suami saya akhirnya memberi tawaran untuk mengikuti sebuah kelas menulis.
Kelas ini membawa atmosfer baru dalam hidup saya. Bahwa ternyata dunia kerja yang selama ini saya geluti terlalu sempit untuk membuka cakrawala berpikir. Bahwa dengan menulis mampu mengangkat kembali hasrat untuk berbagi informasi dan pemikiran. Yang membuka ruang baru tentang menjadi perempuan berdaya.
Hingga secara tidak sengaja, suami saya (lagi) ngidein bikin blog. Yang secara kebetulan memang saya sedang ngepoin mantan rekan kerja saya yang menjadi bloger. Setelah tik-tokan, gayung pun bersambut. Singkat cerita saya pun membuat blog TLD pertama. (Sombong dikit dong langsung TLD! 😊)
Apa Sih Makna Perempuan Berdaya?
Ngomongin berdaya, yang sering digaungkan oleh banyak perempuan harus kita cek dulu artinya di KBBI nih! Supaya nggak salah kaprah. Menurut KBBI, berdaya berasal dari kata dasar “daya” dengan imbuhan “ber”.
Ada empat arti kata daya yang tercantum di KBBI, (1)kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak, (2) kekuatan; tenaga(yang menyebabkan sesuatu bergerak dan sebagainya, (3)muslihat, (4)akal, ikhtiar;upaya.
Kemudian apa artinya ketika digabung dengan kata perempuan; perempuan berdaya? Menurut pendapat saya, perempuan berdaya adalah perempuan yang berkuatan, kaya akan energi untuk menunjukkan dan mengoptimalkan potensi dirinya. Dia tahu bagaimana harus bergerak dan berkembang, serta memberi manfaat dari tindakannya.
Yang perlu digarisbawahi, menjadi perempuan berdaya tidak berhenti pada aktivitas finansial. Tentu ini akan beda cerita dengan ‘berdaya secara finansial’. Apa pun aktivitas kita, yang penting produktif, memberi manfaat, dan dapat mengembangkan potensi diri masuk dalam ranah perempuan berdaya.
Meskipun di mata orang kita hanya ‘terlihat’ nyapu rumah sepanjang waktu. Itu sah menjadi perempuan berdaya, jika memang mampu membuat harimu lebih produktif, lebih bermanfaat dan mengembangkan banyak skill diri.
Menjadi Perempuan Berdaya Setelah Resign, Bisakah?
Galaunya dunia perempuan yang nggak kelar-kelar padahal sudah fix bekerja fulltime di rumah adalah ketika mengambil keputusan resign kerja. Perlu adaptasi yang nggak sebentar (itu saya aja kali, ya! hihihi) dengan rutinitas baru. Kehilangan rekan kerja, kehilangan ruang diskusi, kehilangan ruang untuk mengaktualisasi diri.
Rodo ngenes sek kelewat kebangetan, kalimat ini mungkin bisa mengungkapkan perasaan saya waktu itu. Kehilangan rutinitas yang membuat diri kita bebas bergerak menjadi diri sendiri memang uangeeel rek! Hanya saja kalau keputusan itu sudah diambil, kita nggak bisa terus menerus meratapi nasib. Kita harus mencari trigger untuk bangkit. Untuk kembali mengangkat muka dan menjadi perempuan berdaya dengan cara yang berbeda.
Gimana caranya perempuan tetap berdaya setelah resign kerja?
#1 Menentukan ritme rutinitas baru
Saya jetlag juga ketika pagi-pagi nggak riweuh nyiapin sarapan dan perbekalan rutin anak (walaupun pas pandemi kerja di rumah, makan tetep harus ready di pagi hari). Eh, ternyata gue bisa ongkang-ongkang kaki tanpa beban kerja. Bolehlah scrolling bentar (yang ENGGAK sebentar juga). Kita jadi terlena dengan waktu. Begitulah kata para sufi. Wkwkwk.
Jadi, kita harus harus dengan segera menyadari hal ini. Kita harus bisa memilah, mana kegiatan yang harus dikerjakan duluan. Kapan waktu yang pas untuk santuy. Kapan waktu untuk me time dan quality time. Atau enaknya mana kerjaan yang harus diprioritaskan dan yang boleh ‘disambil laluin’. Supaya ritme kerja di rumah jadi teratur.
#2 Membuat jadwal harian
Setelah ritmenya ketemu, mari buat jadwal harian! Saya terngiang-ngiang untuk membuat jadwal ini dari konten mbak Rahel Yosi Ritonga. Beliau selebgramnya para ibu yang receh tapi manfaatable konten-kontennya.
Kita, meskipun di rumah itu ya harus bikin jadwal karena namanya manusia itu sering banyak lupanya. Supaya tahu kegiatan yang harus berjalan hari ini apa saja, bagi waktunya bagaimana, dan menjadi bahan koreksi untuk hari esoknya.
Ketika saya sudah bisa konsisten membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan harian, rasanya kok jadi lebih happy! Saya jadi bisa mengambil celah waktu untuk menekuni hobi dan kegiatan baru yang sedang saya pelajari. Hidup jadi nggak kebuang-buang untuk scrolling. Taste hatinya sudah menjadi lebih berdaya dari ketika semua kegiatan campur aduk menjadi satu.
#3 Menemukan hobi baru yang menyenangkan
Kalau dulu hobi saya mampir nongkrong bentar setelah penat bekerja (yang nggak mungkin bisa lagi sekarang). Maka nggak ada salahnya untuk mencoba hal-hal baru. Cukup challenging, tapi akhirnya saya malah suka ber-wow-wow sendiri dengan beberapa skill yang ternyata malah lebih banyak terupgrade.
Saran pentingnya adalah, “Jangan takut untuk memulai!” Kita nggak akan pernah menemukan hasil sebelum mencoba sesuatu. Jadi, yaaa coba aja dulu!
Fyi, saya mendapatkan dua juta pertama dari menekuni hobi lho! Dan kenangan itu begitu manis untuk saya. Karena, dari dua juta itu saya tidak hanya mendapat keuntungan secara materi. Tapi, saya juga mencurahkan upaya dan berusaha untuk membaginya dengan orang lain. Hei, saya kembali lahir menjadi perempuan berdaya!
#4 Bergabung dalam komunitas
Pernah dengar lalaran kitab A La la? Yang begini bunyinya “yen ana kanca olo lakune ndhang dohono, yen ana kanca apik lakune ndhang kancanono”. Artinya “jika ada teman yang jelek perilakunya segera jauhi, jika ada teman yang baik perilakunya segera dekati”. Kenapa begitu, sih? Karena teman itu circle. Kita harus bisa memilih teman yang dapat membawa diri kita ke arah yang benar.
Terus, apa hubungannya dengan bergabung dengan komunitas? Komunitas yang kita ikuti, mampu menjadi magnet! Yang menarik kita untuk melakukan kegiatan sesuai dengan bidang, ketrampilan, atau visi misi kita.
Kalau suka masak, cari komunitas masak. Kalau suka mendongeng, hayuk atuh gabung dengan kumpulan orang yang suka mendongeng. Cedhak kebo gupak, gitu lho! Biar kita kecipratan semangat, ilmu dan info baru tentang hal yang kita gemari.
Sekarang mah gampang kalau mau mencari komunitas. Tinggal ketik keyword, muncul deh yang kita inginkan. Jadi, nggak perlu pusing nyari sampai salah alamat kayak Ayu Ting Ting! (Ciyeee, joke bapack-bapack keluar! Wkwkwk)
Resign kerja bukanlah akhir dari kisah hidupmu, kok! Tapi, diawal-awal memang akan membuat hidupmu terasa timpang. Miring sebelah, kayak nggak ajeg gitu lho! But, everything gonna be okay!