3 Tips Agar Anak Bisa Membaca Pada Usia Dini Tanpa Ikut Les

Spread the love

Beberapa hari yang lalu saya mengambil rapot. Fyi, anak saya sekarang TK A. Dan sebuah pertanyaan tak terduga saya dapatkan dari guru anak saya. “Denayu sudah bisa baca tulis. Apa dia ikut les?” Hmmm, saking banyaknya tempat les jadi menimbulkan persepsi bahwa kalau anak usia dini udah bisa baca pasti diles-in gitu ya

Okay, untuk urusan baca tulis ini saya nggak ngeles-in Teteh. Dan memang nggak ada niat untuk itu. Saya lumayan idealis ingin menemani momen belajar membaca dan menulis ini tanpa campur tangan pihak ketiga. Dan, we did it! Karena ini buah manis dari kerjasama saya dan suami.

Jadi, gimana cara yang saya dan suami lakukan untuk mengajari anak membaca? Ikuti tipsnya berikut ini, ya!

#1 Menyediakan buku anak di rumah

Saya menyediakan buku anak sejak Teteh lahir. Buku pertama yang saya beli adalah “The Very Hungry Catterpilar”. Fyi, itu buku paling mahal yang pernah saya beli waktu itu.Wkwkwk.  Belinya di BBW, pas pertama kali event ini hadir di Indonesia. Makanya buku ini bersejarah banget. Kalian bisa baca rekomendasi buku anak lain di sini ya!

Buku sebagai fasilitas anak untuk membaca

Agak mencengangkan mungkin, pengen mengajari anak membaca tapi dengan menyediakan buku anak di rumah. Baca aja belum bisa, ini kok malah nyediain buku?

Pertama, buku anak ini menjadi salah satu sumber mengenalkan banyak kosa kata untuk anak. Yang mana di kosa kata ini nantinya akan menjadi kamus kata-kata di otak mereka. Nah, isi kamus ini akan menjadi jalan untuk mempermudah proses anak ketika belajar membaca.

Otak manusia itu dirancang sedemikian rupa yang masya allah banget! Meskpun kayaknya sambil lalu, apa-apa yang terekam di usia golden age ini benar-benar mengakar di kepala mereka. Dan ketika tiba saatnya, kata-kata ini akan dimuntahkan sebanyak-banyaknya secara verbal yang membantu perkembangan kemampuan pra membacanya.

#2 Membangun ritual membaca di rumah

Kenapa sih harus membangun ritual membaca kalau ingin mengajari anak membaca?

Karena ending dari kegiatan mengajari anak membaca adalah membuat anak bisa membaca. Jadi, vibesnya harus dibangun sebelum anak benar-benar mempraktikkan diri untuk membaca. Supaya ruh untuk membaca ini beneran ada. (Apa siih gue, spaneng amat ngomongnya kayak orang bener aja!Wkwkwk)

Jadi, membaca nggak hanya berakhir menjadi rasa terpaksa. Kayak, “Aku terpaksa baca karena harus ngerjain soal ulangan”. Atau sekedar merangkai huruf jadi kata, kata jadi kalimat. Nggak gitu!

Bagaimana ritual membaca dibangun? Mulainya dari mana?

Orang tua perlu memulai untuk membaca

Tentu saja mulainya dari orang tua. Ingatlah bahwa anak-anak adalah peniru ulung. Si Yang Suka Mengimitasi gerak-gerik kita. Termasuk dalam dunia membaca ini.

Gimana dong kalau kita nggak suka membaca? Ya, pura-pura aja suka baca. Baca aja dulu yang ringan-ringan kayak komik atau TTS yang bentuknya buku itu. Nggak perlu maksain untuk jadi si kutu buku banget kalau kita tersiksa. Cukup bikin situasi dimana kita sedang membaca dan anak-anak melihatnya. Yakin deh, nggak lama mereka akan mengimitasi apa yang kita lakukan.

Kalau langkah bermain peran ‘jadi suka membaca’ ini sudah berhasil, lakukan pula ritual membacakan buku untuk anak. Lakukan setiap hari, ya! Nggak perlu banyak-banyak kalau kita belum terbiasa. Satu aja dulu. Kalau satu buku kebanyakan, potong-potong aja ceritanya untuk beberapa hari. It’s a simple trick, kan?

#3 Menemukan kapan waktu yang tepat untuk mengajari anak membaca

Temukan fase anak ingin belajar membaca

Teteh mulai suka untuk membaca secara harfiah di usia 5 tahunan. Di awal usia 4 tahun saya memang pernah mengajarinya untuk membaca suku kata dengan beberapa permainan. Tapi, itu nggak bertahan lama. Karena saya capek! Capek hati ngomel-ngomel mulu. Teteh nggak happy, begitu pun saya. Jadi, proses belajar baca ala-ala ini berlangsung nggak nyampe sebulan. Wkwkwk.

Waktu itu, jujurly saya memang berambisi supaya Teteh cepet-cepet bisa baca. Dan hasilnya bikin pusing kepala dan hati mulu kalau lagi ‘belajar’. “Ih, kenapa anak ini diajari nggak bisa-bisa!”, begitulah isi kepala saya waktu itu.

Dan, sampailah saya di suatu masa di mana saya sadar bahwa memang belum waktunya Teteh aja untuk sampai di fase bisa membaca. Saya juga baru sadar gara-gara ikut IG livenya mbak Vidya. Beliau bilang, kurang lebih begini, “Ngapain buru-buru, kita nggak lagi lomba kok. Mereka akan bisa membaca dan menulis pada waktunya.”

Ini beneran terjadi lho! Di awal usia 5 tahun, Teteh mulai suka mengeja suku kata terbuka. Sejak dia mulai terlihat suka itu, saya dan bapaknya kembali menemani prosesnya memahami konsep membaca. Tentunya dengan lebih menyenangkan. Ketika dia minta, baru kami beri materi. Itu pun materinya pakai coretan buku dan gambar di kertas saja. Paling mentok tebak kata di buku ceritanya. Dan sekarang Teteh mulai bisa membaca sendiri.

Tips penting lain!

Sebelum kita buru-buru ngelesin anak untuk membaca, cek dulu beberapa kemampuan pra membacanya. Jika sudah oke, nggak urgen kok ngelesin anak. Karena percaya atau tidak, jika secara ilmiah anak yang baru paham konsep membaca di usia 9 tahun masih ditolerir, lho! Karena sejatinya menurut penelitian, anak yang bisa membaca di usia 4, 5, 6,7, 8 tahun kemampuan membacanya akan sama setelah lewat dari kelas 3 SD.

Perlu diingat juga, bahwa membaca sama dengan milestone anak yang lain. Semua ada waktunya. Nggak usah buru-buru. Tapi, nggak usah buru-buru bukan berarti kita diam tanpa usaha ya genks! Ngasih stimulasi ya harus jalan terus. Karena itu merupakan salah satu bentuk ikhtiar.